Jumat, 12 September 2008

DARI SAWAH BELAKANG RUMAH

Dari sawah belakang rumah, menjulang dengan gagah gunung kelud dengan segala pancaran misteri dan ceritanya. Sebelum mata sampai pada dua puncak gunung kelud tersebut, dari sawah belakang rumah saya ini, kita akan bisa melihat gunung pegat yang juga tempat mengungsi sewaktu gunung kelud meletus. Ada beberapa pohon randu dan saya biasa naik pohon randu yang paling besar dan tiduran diatasnya, memandangi puncak gunung kelud tersebut sambil mengingat dan membayangkan cerita ibuk semalam, jotosuro dan lembu suro yang berebut dewi kilisuci dari kediri. Entah versi mana yang ibuk turunkan ke saya, yang pasti, joto suro dan lembu suro akhirnya dua-duanya binasa akibat kelicikan atau kecerdasan dewi kilisuci. Apakah dewi kilisuci licik atau cerdas?, saya sampai saat ini belum tahu, tergantung dari mana kita melihatnya. Tetapi yang pasti lagi, keserakahan dan ketidakmauan saling mengalah antara dua bersaudara, joto suro dan lembu suro langsung berbuah petaka buat mereka, keduanya binasa terkubur di kedalaman sumur yang kemudian menjadi kawah gunung kelud. Dari kecil saya mulai merenungkan

tentang taktik dewi kilisuci, saat itulah saya mulai belajar strategi. Juga, saya harus menjadi manusia yang nrimo ing pandum, tidak boleh serakah, wani ngalah luhur wekasane, jangan seperti lembu suro dan joto suro yang akhirnya binasa. Juga lagi, saya di perkenalkan tentang adanya dendam kesumat yang bisa abadi sehingga menjadi legenda kenapa arah lahar gunung kelud selalu ke barat, ke arah kediri, bukan ke timur ke arah malang. Joto suro dan lembu suro masih dendam kepada putri kediri, dewi kili suci. Dari atas pohon randu itulah saya mulai belajar tentang cerita saya juga, cerita tentang manusia, yang ternyata juga berisi strategi ataukah kelicikan, semangat juang tiada henti ataukah dendam kesumat berkepanjangan.
Saya menghabiskan waktu selesai sekolah saya dengan di sawah. Sawah adalah tempat bermain saya. Dengan menyesuaikan musim tanam, kami anak-anak sedesa menciptakan permainan yang asyik menurut kami sendiri. Bila musim panen padi tiba, saatnya kami belajar atletik. Entah siapa yang memulai, kami sering mengejar burung-burung muda yang kehilangan sarangnya akibat batang padi yang dipanen, kami tangkap kemudian kami lepas kembali, tidak ada yang mau memelihara burung pipit tersebut, karena tak laku dijual. Saat itu masih sangat banyak burung pipit dan manyar, tidak seperti sekarang, hampir punah. Bila musimnya menanam polowiji: jagung, kacang tanah, kedelai dsb, kami mempunyai banyak pilihan, bisa cari ceplukan untuk dimakan sendiri hingga kami serak atau mencari jangkrik untuk dipelihara dirumah, di rumah jangkrik yang kami sebut clontang, hingga kami punya puluhan jangkrik yang akan mengganggu tidur seisi rumah, hingga sampai suatu saat kami bosan dengan jangkrik-jangkrik itu dan melepasnya lagi. Selain permainan-permainan tersebut, kami masih punya pilihan untuk bermain layang-layang, sampai suatu saat musim penghujan datang dan kami memilih mandi di sungai kecil dan dam bersama kerbau dan sapi. Saat itulah saya mulai belajar berenang hingga saat kelas satu smp saya sudah berani menyeberangi sungai brantas. Sebuah prestasi yang cukup membanggakan saya, seperti bangganya sadam husein menyeberangi sungai eufrat nya.
Ketika sore menjelang magrib, sering kami sekeluarga duduk-duduk di beranda rumah atau sekedar berdiri di halaman menunggu gelap datang. Pada musim kemarau, tiap sore ratusan kalong bergerak dari barat ke timur. Saat itu saya tanya ibuk saya, mau kemakah kalong-kalong itu, dan ibuk menjawab bahwa kalong-kalong itu bergerak menuju pegunungan di timur, di seputar gunung kelud untuk mencari makan. Langsung imajinasi saya bermain saat itu, betapa hidup penuh perjuangan. Harus terbang sangat jauh untuk berburu makanan. Esok harinya ratusan kalong lagi meluncur ke timur seakan tiada habisnya. Setelah saya dewasa saat ini, barulah saya sadari bahwa kalong kalong itu melakukan migrasi untuk bertahan hidup, dan di musim kemarau arah migrasinya menuju timur. Belum sempat ada yang meneliti mengapa mereka bergerak ke timur yang justru menantang angin, karena musim kemarau biasanya angin bergerak dari arah tenggara menuju barat laut untuk di daerah blitar, kalong-kalong itu sudah habis di ujung timah panas senapan angin. Mereka berburu makanan tapi juga diburu oleh makluk pencari dan pemakan segala, manusia. Entah saat saya usia berapa kalong-kalong itu mulai punah, yang pasti sekarang sangat susah untuk melihat satu kalongpun.
Malam segera datang dan kami ( saya dan saudara-saudara saya ) punya dua pilihan; menemani mbah kakung dan mendapatkan cerita tentang ketulusan dan keikhlasan hati puntodewo yang berdarah putih, keperkasaan dan kegagahan werkudoro, pesona dan ketampanan lananging jagat janoko atau bergabung dengan ibuk dengan cerita timun mas, ande-ande lumut atau kancil nya. Kalau bergabung dengan mbah kakung, langsung terbersit dalam hati saya, saya ingin seperti puntodewo, werkudoro ataupun janoko; menjadi seorang kesatria sakti, tampan dan baik hati. Ketika bergabung dengan ibuk, air mata kami harus meleleh ketika timun mas begitu menderita dan sabar berkata dalam nyanyian tembang ibuk yang mengalun lembut. Kesabaran, keikhlasan dan ketabahan akan berbuah bahagia. Hidup memang harus sabar dan tabah walaupun kadang kesabaran dan ketabahan tidak berbuah, tetapi yang pasti kesabaran dan ketabahan sudah merupakan buah yang lezat untuk dinikmati karena orang yang marah dan frustasi lebih menderita daripada orang sabar.
Selain dua hal diatas saya kadang-kadang mengaji ke masjid yang agak jauh dari rumah, sekitar 1 km. Masjid itu konon bekas serambi mbah buyut saya, mbah lurah Ekomejo. Saya tidak suka mengaji kecuali menikmati bermain di masjid itu. Kalau guru ngaji kami tidak datang, saya justru senang. Setekah dewasa sekarang saya mulai menyesal kenapa saya tidak fasih membaca al quran. Tetapi rasa menyesal saya sedikit terobati ketika saya melihat banyak kolega saya yang lulusan pondok pesantren tetapi lebih berani menegak minuman keras daripada saya, lebih sering keluar masuk diskotek daripada saya, dan lebih sering cerita tentang petualanganya dengan lontenya daripada saya. Pengetahuan agama seseorang bukanlah jaminan pelaksanaan agama. Saya jadi teringat oleh kata-kata ibuk, tuhan bersemayam di dalam dada kita, di hati, ikutilah suaranya maka berarti kamu mengikuti perintah tuhan. Kata-kata ibuk ini tidak sepenuhnya benar, karena kadang ketika mata saya menatap wanita dengan tajam dan saya kerahkan seluruh pesona saya kepadanya sehingga takluk itu wanita, hati saya sama sekali tidak melarangnya. Padahal dalam agama, tatapan pertama itu rejeki dan berikutnya mulai dosa. Dari proses menatap inilah saya mulai menyakiti banyak hati wanita. Agama memang selalu benar, tetapi kata-kata ibuk juga sangat benar, hidup harus mengikuti hati nurani.
Saat bulan puasa tiba, sepulang teraweh, saya kumpulkan anak-anak tetangga untuk tidur di rumah saya untuk bersama-sama melakukan ronda keliling membangunkan orang-orang yang mau makan sahur. Tidak ada yang sebenarnya menginginkan ronda kami. BERSAMBUNG........


Tidak ada komentar: